TAFSIR AYAT RIBA DAN IMPLIKASINYA BAGI EKONOMI



         TAFSIR AYAT RIBA DAN IMPLIKASINYA BAGI EKONOMI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstrukstur Dalam Mata Kuliah Tafsir Ekonomi

Disusun Oleh:
Rovil Al Asyari    3218205
Ekonomi Islam F
Dosen  Pengampu : Oktari Kanus S.Th.I M.Ag

JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUKITTINGGI
2019/2020


PEMBAHASAN

A.  Pengertian Riba
Riba secara literal berarti bertambah, berkembang, atau tumbuh. Akan tetapi, tidak setiap tambahan atau pertumbuhan itu dilarang oleh Islam.[1]
Riba secara bahasa bermakna Ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba’ berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendaat dalam menjelaskan riba’, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba’ adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[2]
Pengertian riba menurut para ahli
1.      Badr ad-Din al-Ayni, mengatakan bahwa “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang rill”
2.      Imam Sarakshi dari Mazhab Hanafi, beliau mengatakan bahwa “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut”
3.      Raghib al-Asfahani, beliau mengatakan bahwa “Riba adalah penambahan atas harta pokok”
4.      Qatadah, beliau mengatakan bahwa “Riba jahiliah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayarnya, maka ia memberikan tambahan atas penangguhan”
5.      Mujahid, beliau mengatakan bahwa “Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan tidak mampu membayarnya maka si pembeli memberikan tambahan atas tambahan waktu”
6.      Zaid bin Aslam, beliau mengatakan bahwa “Yang di maksud dengan riba jahiliah yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memilki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia berkata ‘bayar sekarang atau tambah“[3]

B.    Macam-macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi empat: Riba Al-Fadl, riba Al-yadd, dan riba An-nasi’ah,riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap macam-macamnya:

1.      Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat gram emas,maupun perak dengan perak.[4] Hal ini sesuai dengan hadist nabi saw. sebagai berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا

“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).

2.      Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)

3.      Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
عَنْ سَمَرَة بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”

4.      Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). 
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).[5]

Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :
1.    Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya
2.     Bahan makanan pokok, seperti betas, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti say ur-say man dan buah-buahan.

C.  Tafsir Ayat Ekonomi Tentang Riba

Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap. Larangan tentang riba dimulai melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan sejak sébelum hijrah nabi Muhammad SAW.

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa riba pada zhahimya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah. Dalam surah Ar-rum, yang diturunkan di Mekkah, terdapat sebuah ayat tentang riba, ekonomi riba tidak akan terjadi pertumbuhan yang haqiqi sedangkan ekonomi zakat akan menumbuhkan perekonomian secara haqiqi yaitu:[6]

QS. Ar-Rum 39

وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن رِّبٗا لِّيَرۡبُوَاْ فِيٓ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرۡبُواْ عِندَ ٱللَّهِۖ وَمَآ ءَاتَيۡتُم مِّن زَكَوٰةٖ تُرِيدُونَ وَجۡهَ ٱللَّهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُضۡعِفُونَ  ٣٩

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
Dawam  Rahardjo  menjelaskan ayat  pertama tentang riba  ini sesungguhnya memberikan definisi riba. Dari ayat inilah riba itu didefinisikan sebagai ziyadah. Yang dimaksud dengan riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada  harta  atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Pada ayat di atas tidak atau belum terdapat ketetapan hukum tentang haramnya riba. Agaknya ayat ini sekedar ancang-ancang terhadap larangan riba  dalam  ayat-ayat yang  turun  kemudian.[7]
Ayat di atas  menjadi  menarik  karena  riba dihadapkan dengan zakat.  Baik riba atau  zakat  sama-sama mengandung makna  ziyadat (tambahan). Bedanya  adalah, riba  itu  ziyadat  pada  harta  manusia tetapi  tidak mengandung nilai tambah di sisi Allah. Sedangkan zakat itu maknanya ziyadat pada sisi Allah walaupun terkesan harta berkurang di  sini  manusia. Dengan  kata  lain,  orang  yang  berzakat kendati terkesan hartanya (secara lahiriah) berkurang namun hakikatnya harta  tersebut bertambah di sisi Allah SWT. Sebaliknya  orang  yang memperaktekkan riba, kendati  secara lahir hartanya bertambah dan ia seakan  mendapatkan keuntungan, namun di sisi Allah, apa yang dilakukannya merupakan kesia-siaan.[8]
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah mengancam dengan balasan ayat keras kepala orang Yahudi yang memakan riba. Dijelaskan Allah pada:[9]
QS. An-Nisa ayat  161

وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰاْ وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا  ١٦١
“dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Allah SWT menjelaskan sebab lain yang membuat oang Yahudi di hukum - mengharamkan sesuatu yang sebelumnya telah  dihalalkan Allah SWT- disebabkan karena  orang Yahudi memakan riba, sesuatu yang sangat tidak manusiawi dan terlarang.
Melalui ayat ini seolah Allah ingin mengingatkan kita untuk tidak melalukan dua hal; Pertama, menghalangi diri atau orang lain menuju jalan Allah. Kedua, Memakan riba sesuatu yang sangat dilarang dengan keras di dalam  kitab suci. Jika dua hal ini dilakukan, maka Allah akan menghukum kita  dengan hukuman yang  tidak  ringan.
Riba tampaknya menjadi sumber keuntungan dan faktor kebahagiaan, tetapi ia adalah penyebab dicabutnya rahmat dan datangnya hukuman. Semua agama langit adalah sensitif, dan mempunyai katakata, berkenaan dengan kaitan material dan keuangan di antara manusia dan juga berkenaan dengan keuntungan dan pembelanjaan mereka.
Selama kezaliman, riba, dan hidup dari uang yang tidak halal belum menempatkan seseorang dalam jalan kekaflran, adalah mudah baginya untuk kembali kejalan yang benar. Jika tidak demikian, maka dosa-dosa tersebut bisa menjadi sebab kekafiran, dan orang-orang yang kafnr terlibat dalam hukuman.[10]
Tahap ketiga, Allah mengharamkan riba yang berlipat ganda. Sedangkan riba yang tidak berlipat ganda beIum diharamkan. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa itu.[11]
QS. Ali-Imran Ayat 130

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ  ١٣٠

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Allah SWT melarang hamba-hambanya yang mu’min mempraktikkan riba dan memakannya dengan berlipat ganda sebagaimana berlaku di zaman jahiliyah, dimana berlaku kebiasaan, Hutang harus dilunasi tepat pada waktunya atau ditunda dengan disertai bunga yang makin lama makin berlipat ganda bilangan yang sedikit menjadi besar dan banyak berlipat-lipat. Allah memerintah hamba-hamba-Nya bertaqwa supaya beruntung di dunia dan akhirat, dengan peringatan keras agar menjauhkan diri dan api neraka yang tersedia bagi orang-orang kafir.

Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 hijriah.

Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman baik bunga yang kecil maupun besar. lni adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Dijelaskan dalam[12]

QS. Al-Baqarah ayat 278-279

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)

278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Pada tahap ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan jenis tambahan yang diambil dari pinjaman.  Ayat terkahir yang terkaitdengan riba diwahyukan menjelang akhir masa kenabian Muhammad.[13]

D.   Faktor  Diharamkannya riba
Menurut pemakalah beberapa yang amat besar dengan diharamkannya riba’ antara lain karena
  1. Riba’ menghilangkan faedah berhutang piutang yang menjadi tulang punggung gotong royong atas kebajikan dan taqwa.
  2. Riba’ menimbulkan dan menanamkan jiwa permusuhan antara beberapa individu manusia
  3. Riba’ menimbulkan mental orang yang suka hidup mewah dan boros serta ingin memperoleh hasil besar tanpa kerja keras diatas kesusahan orang lain
  4. Riba’ merupakan jalan atau cara untuk menjajah orang karena yang meminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya.
E.   Implikasi Atau Dampak Riba Terhadap Ekonomi
1.      Riba mendorong terjadinya penimbunan dan akumulasi kekayaan dan akan menghambat adanya investasi langsung dalam perdagangan. Jika ia melakukan investasipun, maka itu akan dilakukan demikepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat.  
2.      Riba akan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan karena kekayaan itu hanya berada di dalam tangan  pemilik-pemilik modal.[14]


DAFTAR PUSTAKA
Akmal Tarigan, Azhari. 2012. Tafsir Ayat Ayat Ekonomi Al-Qur’an. Bandung: Citamustika Media
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta:Gema Insani
Chapra, Umer. 2000. The Islamic Faoundation.  Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia  cendekia
Rahman Ghazaly, Abdul. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Wahyudi, Heru. 2015.  Riba dalam Tujuh Kitab Klasik. Yogyakarta: Graha Ilmu





[1]M. Umer Chapra,  Sistem Moneter Islam, diterjemahkan: Ikhwan Abidin Basri, The Islamic Faoundation,  (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendekia, 2000),  h.22.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta:Gema Insani, 2001), h.37
[3] Ibid., h.38-40
[4] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat.(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010).h. 220
[5] Ibid., h. 220
[6] Heru Wahyudi, Riba dalam Tujuh Kitab Klasik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015) h. 19
[7] Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat Ayat Ekonomi Al-Qur’an (Bandung: Citamustika Media, 2012) h. 220
[8] Ibid. h. 220-221
[9] Heru Wahyudi, Op. Cit. h. 22
[10]Ibid. h. 22
[11] Ibid. h. 24
[12] Ibid. h. 26
[13] Ibid. h. 31
14  Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit. h.  235


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENGELOLAAN ZAKAT MASA RASULULAH SAW DAN MASA PARA SAHABAT

KONSERVASI, DEPLESI DAN PERSEDIAAN