HAKIKAT DAN MAJAZ


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstrukstur Dalam Mata Kuliah
Ushul Fiqh II

Disusun Oleh:
Rovil Al Asyari    3218205

Dosen  Pengampu : Donald Sasmansyah, S.H.I, M.H


JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM BUKITTINGGI
2019/2020



KATA PENGANTAR


            Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “ HAKIKAT DAN MAJAZ ”
            Dengan selesainya  makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih
            Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari makalah ini.

Bukittingg, 07 September   2019



Penyusun






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 2
A.    Pengertian HakikatdanMajaz......................................................................... 2
B.     Klasifikasi Hakikat dan Majaz....................................................................... 5
C.     Kehujjahan HakikatdanMajaz........................................................................
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 13
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 13
B.     Saran ............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 14





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dalam ilmu ushul fiqh ada beberapa bab yang dapat di ambil pengertiannya seperti lafadz, jika dalam nash syara’ terdapat lafadz yang ‘amm. Dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka ia ia harus di pahami menurut keumumannya dan hukumnya di ditetapkan untuk semua kesatuan kesatuannya.
Jika ada dalil yang mengkhususkannya, maka wajib di pahami menurut paya yang tersisa menurut kesatuannya setelah di khususkan dan hukumnya di tetapkan untuk satun satuannya secara dugaan, bukan pasti.
Di dalam makalah ini akan di jelaskan lafadz dari segi pemaknaannya, selain itu pengertian hakikat, sharih serta kinayah pun akan di jabarkan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Hakikat dan Majaz ?
2.      Apa saja klasifikasi dari Hakikat dan Majaz ?























BAB II
PEMBAHASAN
      A.  Pengertian Haqiqat dan Majaz 
           Haqiqat dan majaz adalah dua kata dalam bentuk mutadhayyifan  dalam arti sebagai dua kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk kedalam salah satu diantaranya. Para ulama memberikan arti yang berbeda terhadap kata haqiqat dan majaz. Perbedaan itu hanya dalam perumusan saja sedangkan pengertiannya berdekatan.
1.    Pengertian Hakikat
Hakikat ialah lafadz yang di gunakan pada asal peletakannya, Seperti : Singa  untuk suatu hewan yang buas. Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (فيما وضع له) “ pada asal peletakannya” : Majaz.Dan hakikat terbagi menjadi tiga macam : Lughowiyyah, Syar’iyyah dan ‘Urfiyyah.Hakikat lughowiyyah adalah :
 “Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”
Maka keluar dari perkataan kami : (في اللغة) “secara bahasa” : hakikat syar’iyyah dan hakikat ‘urfiyyah.
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa
Ada beberapa rumusan yang dikemukakan ulama tentang pengertian hakikat itu, yakni:
a.         Menurut Ibnu Subki:
هو اللفظ المستعمل فيما وضع له ابتداء
“Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu di tentukan pada mulanya.
b.         Menurut Ibnu Kudamah:
هو اللفظ المستعمل في موضوعه الا صلي
c.         Menurut Wahabah Zuhaili, makna hakikat itu adalah :
هي كل لفظ اريد به ماوضع له في الاصل اشيء معلوم
“Setiap lafaz yang digunakan untuk menunjukkan arti yang semestinya bagi sesuatu yang sudah maklum (lumrah) untuk dipahami.”
d.        Menurut al-Sarkisi:
كل لفظ هو موضوع في الاصل لشيء معلوم
Setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.”
e.         Menurut  al-Utsaimin:
اللفظ المستعمل فيما وضع له
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya.”[1]

Beberapa definisi diatas mengandung pengertian bahwasannya hakikat itu adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menurut asalnya untuk maksud tertentu. Maksudnya lafaz tersebut digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Seperti  kata “kursi”; menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata “kursi“ itu sering pula digunakan untuk pengertian kekuasaan, namun tujuan semula kata “kursi” itu bukan untuk itu, tetapi “tempat duduk”. Sedangkan penggunaan suatu kata untuk sasaran (pengertian) lain dinamai “majaz” Lafaz itu tidak disifati bahwa ia haqiqah atau majaz kecuali setelah digunakan.[2]

    2.    Pengertian Majaz.
Sedangkan mengenai pengertian Majaz, maka para ulama Ushul memberikan definisi yang beragam, secara bahasa kata majaz diambil dari kata(اجاز الموضوع) yang artinya meninggalkan atau menempuh suatu tempat. Sedangkan menurut istilah majaz adalam menggunakan suatu kata bukan pada makna asalnya, karena adanya qarinah (indikasi) yang mencegah penggunaan makna asal, disertai adanya hubungan antara kedua makna yang digunakan dan makna asal.
Beberapa ulama ushul merumuskan pengertian majaz itu secara beragam, namun memiliki pengertian yang berdekatan dan saling melengkapi,yaitu[3]
a.       Al-Sarkhisi memberikan definisi :
اسم لكل لفظ هو مستعار لشيء غيرما وضع له
“Nama unbtuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan”.
b.      Menurut Ibnu Qudamah :
هو اللظ المستعمل في غير موضوعه على وجه يصح
“Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”.

c.       Definisi Majaz menurut Ibnu Subki :
هو اللظ المستعمل بوضع ثان لعلاقة
“Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
Dari beberapa contoh definisi diatas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut yaitu :
a.       Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa;
b.      Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud;
c.       Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu memang ada kaitannya.
Contohnya lafal Asad yang artinya singa, diartikan sebagai orang yang berani.
Contoh lain, umpamanya kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Lafaz “kursi” menurut hakikatnya digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat duduk” dengan “kekuasaan” itu memang ada kaitannya yaitu bahwa kekuasaaan itu dilaksanakan dari “kursi” (tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana. Bahwa yang dimaksud dengan suatu lafal adalah makna majazinya dapat diketahui dengan adanya qarinah atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh si pembicara bukan makna haqiqinya, tetapi adalah makna majazinya.[4]
Syekh Utsaimin merumuskan pengertian majaz itu adalah :
اللفظ المستعمل في غير ما وضع له
“Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”
Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani. Maka keluar dari perkataan kami : (المستعمل) “yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (في غير ما وضع له) “bukan pada asal peletakannya” : Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).
Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara makna secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai ‘Alaqoh (hubungan/penyesuaian), dan ‘Alaqoh bisa berupa penyerupaan atau yang selainnya.[5]

        B.       Klasifikasi Hakikat Dan Majaz
 
      1.    Klasifikasi Haqiqah.
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi haqiqah itu kepada beberapa bentuk :
a.       Haqiqah Lughawiyyah ( الحقيقة اللغوية)
اللفظ المستعمل فيما وضع له في اللغة
“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”[6]
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.
b.      Haqiqah Syar’iyah (  الحقيقة الشرعية) yang ditetapkan oleh syari’ (pembuat hukum) sendiri, yaitu :
هو اللفظ المستعمل في المعنى الموضوع له شرعا
Lafaz yang digunakan untuk makna yang di tentukan untuk itu oleh syara’
Umpamanya lafazh shalat untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang di mulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.Makna shalat yang menurut asal bahasa adalah do’a.
c.       Haqiqah ‘Urfiyah Khashshah ((الحقيقة العرقية الخا صة, yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu lingkungan tertentu, yaitu :
هو اللفظ المستعمل في معنى عرفي خاص يصطلح عليه جماعة او طاءفة منه
“Lafazh yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.”
d.      Haqiqah “urfiah “ammah(الحقيقة العرقية الخا ص)yang ditetapkan oleh kebiasan yang berlaku secara umum.
هو اللفظ المستعمل في معنى عرفي عام
Lafazh yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum”
Apabila pemindahan makna tersebut disebabkan adanya urf, maka dinamai dengan haqiqah ‘urfiah. Misalnya kata ( دابة ) pada asalnya digunakan untuk menunjukkan arti setiap makhluk yang berjalan di bumi, mencakup manusia dan hewan. Akan tetapi kebiasaan ahli bahasa (‘urf) digunakan untuk hewan yag berkaki empat. Implikasinya makna yang pertama dijauhi.
Adapun manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah : Agar kita membawa setiap lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang semestinya sesuai dengan penggunaannya. Maka dalam penggunaan ahli bahasa lafadz dibawa kepada hakikat lughowiyyah dan dalam penggunaan syar’i dibawa kepada hakikat syar’iyyah dan dalam penggunaan ahli ‘urf dibawa kepada hakikat ‘urfiyyah.
Adapaun mengenai kehujjahan lafal haqiqah, maka ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa suatu lafal harus digunakan dalam makna hakikatnya, baik hakikat bahasa, syara’, maupun urf selama tidak ada indikasi yang mamalingkannya dari makna tersebut.

    2.    Klasifikasi Majaz.
Adapun macam-macam majaz, sebagaimana yang disebutkan oleh DR. Wahbah Zuhailiseperti halnya pada haqiqah adalah sebagai berikut [7]
a.       Majazlughawi yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena adanya qarinah lughawi, atau tuntutan kebahasaan. Seperti menggunakan kata asad (yang artinya macan) digunakan untuk arti : “ laki-laki yang pemberani”
Menurut Utsaimin, Maka jika majaz tersebut dengan penyerupaan, dinamakan majaz Isti’arah (استعارة), seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang pemberani.Isti’arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan lafaz majaz.[8]
b.      Majaz Syar’i, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya, karena ada qarinah syar’iyah. Seperti menggunakan lafaz shalat (yang arti aslinya adalah do’a) digunakan untuk arti “suatu ibadah yang tertentu”.
c.       Majaz ‘Urfi Khas, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya karena adanya tuntutan kebiasaan yang tertentu.Seperti menggunakan lafaz الحال yang artinya “berubah” digunakan untuk menentukan keadaan seseorang yang baik ataupun yang buruk.
d.      Majaz ‘Urfi ‘Am, yaitu menggunakan lafaz bukan untuk arti yang sesungguhnya karena adanya kecocokan dan tuntutan kebiasaan yang umum (menyeluruh). Seperti menggunakan lafaz الدابة yang artinya hewan, digunakan untuk arti “orang yang bodoh”.
Sedangkan Profesor Amir Syarifuddin di dalam bukunya menyebutkan bentuk-bentuk majaz itu sebagai berikut :[9]
a.       Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seperti tambahan kata ك yang terdapat dalam firman Allah dalam surat “al-Syura; 11( ليس كمثله شيء).
b.      Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata yang sebenarnya. Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf ayat; 82
واسئل القرية(tanyalah penduduk kampung itu).
c.       Mendahulukan dan membelakangkan, atau dalam pengertian “menukar kedudukan suatu kata”. Umpamanya firman Allah dalam surat dalam surat an-Nisa’ ayat; 11
d.      Meminjam kata lain atau Isti’arah. Yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan (meminjam) kata lain, seperti memberi nama si A yang “pemberani” dengan “singa”.

     C.  Hakikat dan Majaz Sebagai Penunjuk Hukum
Pemahaman hakikat dan majâz adalah salah satu dari metode yang digunakanpara mujtahid untuk mengali penggunaan lafaz atas suatu makna yang bisamenghadirkan suatu pengertian di dalam memahami teks dengan melibatkan dalilaqli (rasio) atau dalil naqli (nash) maupun kebiasaan dari penggunaan bahasa (rasabahasa), karena tanpa pemahaman mendalam terhadap kajian ini akan membuatseseorang tergelincir ke dalam pemahaman yang berbahaya dan menyesatkan,Maka dengan memahami hakikat dan majâz dengan sempurna serta mematuhiberbagai ketentuan yang ada di dalamnya kita akan terbebas dari berbagaipemahaman yang keliru. [10]

1.        Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz.
Asal penggunaan kata (menurut prinsipnya) adalah menurut hakikatnya dan tidak beralih kepada penggunaan majaz, kecuali dalam keadaan yang terpaksa. Suatu kata baru dapat diketahui keadaannya sebagai majaz bila ada qarinah (petunjuk) yang mengirinya. Karena itu perlu diketahui yang haqiqah dan majaz itu dan antara keduanya dapat dibedakan.
Adapun untuk mengetahui lafaz haqiqah adalah secara sima’i (سماعى ) yaitu dari pendengaran terhadap apa yang bisa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui analogi. Sebagaimana keadaan hukum syara’ yang tidak dapat dikjetahui kecuali melalui nash syara’ itu sendiri.

Cara menegtahui lafaz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti’arah (peminjam kata). Adapun cara orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik di dalam bentuk maupun dalam arti. Contoh keterkaitan dalam bentuk adalah menggunakan kata al-Ghaaith (الغائط ) yang berarti tempat yang tenang di belakang yang dijadikan majaz terhadap kata “buang air besar” karena buang air besar itu memang biasa dilakukan di tempat yang tenang di belakang.

Contoh keterkaitan dalam makna atau arti adalah penggunaan kata “singa” oleh orang Arab dalam bahasa Arab terhadap orang yang “pemberani” karena ada persamaan diantara dua kata itu dalam hal kekuatan dan keberanian.[11]






       2.             Ketentuan yang berkenaan dengan Haqiqah dan Majaz.

Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah dan majaz adalah sebagai berikut:
a.       Bila suatu lafaz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafaz itu ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafaz atau kata adalah untuk haqiqahnya.
Lafaz itupun bukan mujmal ( مجمال) kecuali bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah majaz. Dengan menjadikan setiap lafaz yang memugkinkan untuk dijadikan majaz sebagai mujmal, maka tercapai yang dimaksud , yaitu pemahaman.

b.      Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu’ dari lafaz yang digunakan, baik dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya, baik dalam bentuk umum ataupun khusus. Dan antara dua bentuk lafaz itu tidak terdapat pertentangan ; karena majaz itu adalah pengganti haqiqah. Dalam hal ini terdapat kaidah : “Asal penggunaan lafaz adalah haqiqah dan tidak beralih kepada majaz kecuali ada hajat atau dharurat.”
c.       Haqiqah dan majaz itu tidak mengkin berkumpul pada satu lafaz dalam keadaan yang sama. Artinya masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri; karena haqiqah adalah asalnya sedangkanmajazhanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu lafaz.
Bila yang dimaksud suatu lafaz adalah haqiqah, maka majaz tidak diperlukan. Sebaliknya, bila yang dimaksud suatu lafaz adalah majaz , maka haqiqahnya tidak diperlukan lagi.[12]






BAB III
PENUTUP  
        A.    KESIMPULAN
Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.Pengertian majazadalah suatu lafaz yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafaz pada selain makna yang tersurat didalam nash atau teks. Majaz dan' segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian:
1.      Adapun tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenamya.
2.      Adanya kekuranga dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu.
3.      Menahulukan dan membelakangi atau dalam pengertian, menukar kedudukan suatu kata
4.      Meminjam kata adaah menambahkan suatu dengan menggnaka (penninjamkan) kata lain.

        B.     SARAN
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.







DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimi. 2001.al-Ushul Min ‘Ilmin Ushul :Darul Iman
Abdul Rahman Dahlan. 2014. Ushul Fiqih :Amzah
Amir Syarifuddin. 1999. Ushul Fiqih Jilid 2 : Jakarta; Logos Wacana Ilmu
Satria Efendi, M.Zen. 2012.  Ushul Fiqih: Kencana
Wahbah Zuhaili. 1986. Ushul Al-Fiqh Al-Islami : Darul Fikri



[1] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul Min ‘Ilmin Ushul,( Iskandariyah, Darul Iman; 2001), h. 15
[2]Abdul Rahman Dahlan, Ushul Fiqih,( Jakarta; Amzah; 2014h. 298
[3]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, ; 1999) h. 27
[4]Satria Efendi, M.Zen, Ushul Fiqih, (Jakarta, Kencana; 2012), h.229
[5]Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushul Min ‘Ilmin Ushul,( Iskandariyah, Darul Iman; 2001),h. 16
[6]Ibid.  h. 15
[7]Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, (Damsyiq, Darul Fikri; 1986), h. 293-294
[8]Amir Syarifuddin, Op. Cit, h. 29
[9]Amir Syarifuddin, Op. Cit, h. 28-29
[10]Firdaus, Jurnal Hakikat dan Majaz dalam Al- Qur’an dan Sunnah (Padang: UIN Imam Bonjol Padang, 2018) hl. 56
[11]Amir Syarifuddin, Op. Cit, h. 30
[12]Ibid, hl. 31

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAFSIR AYAT RIBA DAN IMPLIKASINYA BAGI EKONOMI

SEJARAH PENGELOLAAN ZAKAT MASA RASULULAH SAW DAN MASA PARA SAHABAT

KONSERVASI, DEPLESI DAN PERSEDIAAN